Mountaineering
SEJARAH SINGKAT
MOUNTAINEERING
Pendakian gunung sebenarnya telah dilakukan
oleh para nenek moyang kita yang dimulai dengan bapak manuasia Nabi Adam AS
yang menjelajahi bukit tursina untuk mencari cintanya Siti Hawa. Siti Hajar
yang telah lintas dari bukit marwah ke bukit Safa ditemani dengan sherpa JIBRIL untuk
mencari air bagi ismail yang lagi kehausan. Dan pendakian demi pendakian hingga
saat ini masih terus berlangsung dan kelak (tak lama lagi ) giliran kalian
untuk melanjutkan amanah menjaga kelanggengan kemanusian.
a. Sejarah Dunia
1942 : Anthoine de Ville memanjat tebing Mont Aiguille (2907 m)
di pegunungan alpen untuk berburu chamois (Kambing gunung)
1624 : Pastor pastor Jesuit, melintasi pegunungan himalaya dari
gharwal di Iindia ke Tibet menjalankan tugas misionarisnya
1760 : Professoe de Saussure menawarkan hadiah besar bagi siapa
saja yang dapat menaklukkan puncak mont blanc guna kepentingan ilmiahnya.
1786 : Puncak tertinggi di pegunungan alpen Mont Blanc (4807 m)
akhirnya dicapai oleh Dr. Michel Paccaro dan Jacquet Balmat.
1852: Batu pertama jaman keemasan dunia
keemasan di Alpen diletakkan oleh Alfred Wills dalam
pendakiannya ke puncak Wetterhorn (3.708 m), cikal bakal pendakian gunung
sebagai olah raga.
1852 : Sir George Everest, akhirnya menentukan ketinggian puncak
tertinggi dunia, dan di abadikan dengan namanya (8.848 m), orang Nepal menyebut
puncak ini dengan nama sagarmatha, orang tibet menyebutnya chomolungma.
1878 : Clinton Dent (bukan pepsoden) memnjat tebing Aigullie de
dru di perancis yang memicu trend pemanjatan tebing yang tidak terlalu tinggi
tetapi cukup curam dan sulit, banyak orang menganggap peristiwa ini adalah
kelahiran panjat tebing
1895 : AF Mummery orang yang disebut sebagai bapak pendakian
gunung modern hilang di Nanga Parbat (8.125 m), pendakian ini adalah pendakian
pertama puncak di atas ketinggian 8.000 m
1924 : Mallory dan Irvina mencoba lagi mendaki Everest, keduanya
hilang di ketinggian sekitar 8.400 m
1953 : Pada tanggal 29 mei Sir Edmund Hillary dan Sherpa Tenzing
Norgay akhirnya mencapai atap dunia puncak everest.
b. Sejarah Indonesia
1623 : Yan Carstenz adalah orang pertama melihat adanya
pegunungan sangat tinggi, dan tertutup salju di pedalaman irian
1899: Ekspedisi Belanda pembuat
peta di Irian menemukan kebenaran laporan Yan Carstensz hampir
3 abad sebelumnya tentang “ … pegunungan yang sangat tinggi, di beberapa tempat
tertutup salju!” di perdalaman Irian. Maka namanya diabadikan sebagai nama
puncak yang kemudian ternyata merupakan puncak gunung tertinggi di Indonesia.
1962 : Puncak Carstenz akhirnya
berhasil dicapai oleh tim pimpinan Heinrich Harrer.
1964 : Beberapa pendaki Jepang dan 3 orang
Indonesia, yaitu Fred Athaboe, Sudarto dan Sugirin, yang
tergabung dalam Ekspedisi Cendrawasih, berhasil mencapai Puncak Jaya di
Irian. Puncak yang berhasil didaki itu sempat dianggap Puncak Carstensz,
sebelum kemudian dibuktikan salah.
Puncak Eidenburg, juga di Irian, berhasil di daki oleh
ekspedisi yang dipimpin Philip Temple.
Dua perkumpulan pendaki gunung tertua di Indonesia lahir : Wanadri di
Bandung dan Mapala UI di Jakarta, lalu di susul oleh
perkumpulan perhimpunan pencinta alam lainnya mulai dari, MPA,SISPALA,
KPA, ERNIPALA, MODIPALA dan sebagainya
1972 : Mapala UI, diantaranya
adalah Herman O. Lantang dan Rudy Badil, berhasil
mencapai Puncak cartenz. Mereka merupakan orang-orang sipil pertama
dari Indonesia yang mencapai puncak ini.
E. PERSIAPAN DALAM SEBUAH PERJALANAN
1. Dapat berpikir secara logis.
Ini adalah elemen yang terpenting dalam membuat keputusan selama
pendakian, dimana cara berpikir seperti ini lebih banyak mempertimbangkan
faktor safety atau keselamatannya.
2. Memiliki pengetahuan dan keterampilan.
Meliputi pengetahuan tentang medan ( navigasi darat) ,cuaca dan
teknik pendakian , pengetahuan tentang alat pendakian atau pemanjatan dan
sebagainya.
3. Dapat mengkoordinir tubuh kita.
Ø koordinasi antara otak
dengan anggota tubuh.
Ø Haruslah terdapat
keseimbangan antara apa yang dipikirkan di
Ø Otak dan apa yang sanggup
dilakukan oleh tubuh.
Ø Keseimbangan antara emosi
dan kemampuan diri.
Ø Ketenangan dalam melakukan
tindakan .
Ø koordinasi antar anggota
tubuh.
Ialah keseimbangan dan irama anggota tubuh itu sendiri dalam
membuat gerakan-gerakan atau langkah- langkah ketika berjalan atau diam
4. kondisi fisik yang memadai.
Ini dapat dimengerti karena mendaki gunung termasuk dalam
olahraga yang cukup berat . Seringkali berhasil tidaknya suatu pendakian /
pemanjatan bergantung pada kekuatan fisik. Untuk mempunyai kondisi fisik yang
baik dan selalu siap maka jalan satu-satunya haruslah berlatih.
5. Berdoa
Penyeberangan Basah
Ada beberapa teknik/tips dalam melakukan penyeberangan disungai
:
1.
Carilah Jembatan
2.
Jika jembatan tidak ada jangan berharap ada yang mau buatkan
jadi carilah daerah aliran sungai tak beriak, deras dan dalam biasanya semakin
ke hulu aliran sungai seperti itu ada
3.
Jika kalian menyeberangi sungai dan ada tali, ada yang tau
berenang ada juga tidak maka itu yang tau berenang menyeberang kesebelah dengan
diikat tali lalu tali tali itu di tambatkan sudah itu nyebrang mako
4.
Pada saat menyeberang sungai kalian bisa membawa tongkat untuk
menjaga keseimbangan dan juga berguna untuk mengukur kedalaman air
Ingatlah jika menyeberang sungai jangan pernah membelakangi arah
arus air hadapilah walau itu deras karena kalian akan jauh lebih kokoh dan
lintasan jalur yang kalian lalui ada baiknya diagonal begitupun jika kalian
menyeberang secara tim
Selamat Mendaki !!!!!
1. Hill Walking/Hiking Penggiat Alam Bebas Perlu Miliki
Beberapa Kemampuan
asa liburan biasanya digunakan oleh banyak anggota pencinta alam
untuk mendaki gunung. Namun beberapa kali kita melihat atau mendengar musibah
yang dialami para pendaki gunung. Banyak musibah menimpa para pendaki di gunung
tertentu akibat hilang atau tersesat hingga menimbulkan kematian. Mengapa hal
itu bisa terjadi?
Mendaki gunung sebagai kegiatan di alam bebas perlu disadari
betul sebagai kegiatan yang berisiko tinggi. Sebab terjadi perubahan
penyesuaian diri terhadap lingkungan yang kita datangi. Dari kehidupan di
perkotaan yang nyaman dan aman dengan segala fasilitasnya, menuju lingkungan
dengan kondisi yang ekstrem. Biasanya kita bermukim di rumah yang nyaman dan
sejuk, terhindar dari panasnya matahari, dinginnya malam dan hujan serta tidur
di ranjang yang empuk dengan selimut yang menghangatkan. Belum lagi dengan
makanan dan minuman yang cepat tersedia dari para pembantu di rumah maupun di
tempat jajanan.
Semua itu akan berubah drastis jika kita mendaki gunung.
Perbekalan selama mendaki kita bawa dalam ransel yang berat termasuk peralatan
dan perlengkapan lainnnya. Tenda untuk berteduh harus didirikan untuk
menghindari dinginnya suhu di ketinggian serta angin dan hujan yang
sewaktu-waktu datang dengan tiba-tiba. Makanan dan minuman juga harus diolah terlebih
dahulu sebelum kita menikmatinya. Belum lagi dengan kondisi lingkungan dalam
perjalanan. Hutan yang lebat serta jalan yang menanjak dan tak jarang kita
harus melewati pinggiran tebing dengan jurang yang dalam. Dengan situasi
seperti itu jelas diperlukan persiapan dan perencanaan yang matang sebelum kita
mendaki gunung dengan nyaman.
Seorang pakar pendidikan alam terbuka, Collin Mortlock,
mengatakan bahwa para penggiat alam bebas harus memiliki beberapa kemampuan
dalam berkegiatan. Kemampuan itu adalah kemampuan teknis yang yang berhubungan
dengan ritme dan keseimbangan gerakan serta efisiensi penggunaan perlengkapan.
Sebagai contoh, pendaki harus memahami ritme berjalan saat melakukan pendakian,
menjaga keseimbangan pada medan yang curan dan terjal sambil
membawa beban yang berat serta memahami kelebihan dan kekurangan
dari perlengkapan dan peralatan yang dibawa serta paham cara penggunaannya.
Lalu, kemampuan kebugaran yang mencakup kebugaran spesifik yang
dibutuhkan untuk kegiatan tertentu, kebugaran jantung dan sirkulasinya, serta
kemampuan pengkondisian tubuh terhadap tekanan lingkungan alam. Berikutnya,
kemampuan kemanusiawian. Ini menyangkut pengembangan sikap positif
ke segala aspek untuk meningkatkan kemampuan. Hal ini mencakup
determinasi/kemauan, percaya diri, kesabaran, konsentrasi, analisis diri,
kemandirian, serta kemampuan untuk memimpin dan dipimpin.
Seorang pendaki seharusnya dapat memahami keadaan dirinya secara
fisik dan mental sehingga ia dapat melakukan kontrol diri selama melakukan pendakian,
apalagi jika dilakukan dalam suatu kelompok, ia harus dapat menempatkan diri
sebagai anggota kelompok dan bekerja sama dalam satu tim.
Tak kalah penting adalah kemampuan pemahaman lingkungan. Pengembangan
kewaspadaan terhadap bahaya dari lingkungan spesifik. Wawasan terhadap iklim
dan medan kegiatan harus dimiliki seorang pendaki. Ia harus memahami pengaruh
kondisi lingkungan terhadap dirinya dan pengaruh dirinya terhadap kondisi
lingkungan yang ia datangi.
Keempat aspek kemampuan tersebut harus dimiliki seorang pendaki
sebelum ia melakukan pendakian. Sebab yang akan dihadapi adalah tidak hanya
sebuah pengalaman yang menantang dengan keindahan alam yang dilihatnya dari
dekat, tetapi juga sebuah risiko yang amat tinggi, sebuah bahaya yang dapat
mengancam keselamatannya.
IGN FERRY IRAWAN
sumber: Suara PembaruanPERLENGKAPAN PRIBADI
1. Sepatu, ada beberapa tipe sepatu yang dirancang khusus untuk berbagai jenis perjalanan. Sepatu yang baik adalah yang dapat memberikan perlindungan bagi kaki dan cocok untuk jenis perjalanan.
sumber: Suara PembaruanPERLENGKAPAN PRIBADI
1. Sepatu, ada beberapa tipe sepatu yang dirancang khusus untuk berbagai jenis perjalanan. Sepatu yang baik adalah yang dapat memberikan perlindungan bagi kaki dan cocok untuk jenis perjalanan.
2. Pakaian, harus
dapat melindungi si pemakai dari gangguan medan dan cuaca. Meliputi pakaian
untuk kepala, badan, tangan dan kaki.
3. Perlengkapan
tambahan, meliputi bekal makanan / minuman, senter, pisau, perlengkapan
menginap / tidur, dll.
PERLENGKAPAN TEKNIK
1. Tali (Rope)
Tali yang dipergunakan dalam pendakian / pemanjatan tebing (climbing rope) bersifat fleksible, elastis dan tahan terhadap beban yang berat. Diameter tali berkisar antara 11, 10 dan 9 mm. Kemampuan menahan beban berkisar antara 1.360 s/d 2.720 kg. Yang biasa digunakan ada dua jenis yaitu : Hawser laid dan Kernmantel.
1. Tali (Rope)
Tali yang dipergunakan dalam pendakian / pemanjatan tebing (climbing rope) bersifat fleksible, elastis dan tahan terhadap beban yang berat. Diameter tali berkisar antara 11, 10 dan 9 mm. Kemampuan menahan beban berkisar antara 1.360 s/d 2.720 kg. Yang biasa digunakan ada dua jenis yaitu : Hawser laid dan Kernmantel.
2. Helmet / Crash Hat
Berfungsi sebagai pelindung kepala terhadap benturan benda keras.
Berfungsi sebagai pelindung kepala terhadap benturan benda keras.
3. Harness
Tali tubuh yang berfungsi sebagai sabuk pengaman.
Tali tubuh yang berfungsi sebagai sabuk pengaman.
4. Carabineer
Carabineer adalah cincin kait yang berbentuk oval atau D dan mempunyai gate / pintu, terbuat dari allumunium alloy dan mempunyai kekuatan antara 1.500 – 3.500 kg. Carabineer ini ada dua jenis, yaitu : screw gate (berkunci) dan snape gate (tidak berkunci).
Carabineer adalah cincin kait yang berbentuk oval atau D dan mempunyai gate / pintu, terbuat dari allumunium alloy dan mempunyai kekuatan antara 1.500 – 3.500 kg. Carabineer ini ada dua jenis, yaitu : screw gate (berkunci) dan snape gate (tidak berkunci).
5. Sling
Sling terbuat dari webbing tubular. Panjang sekitar 1,5 m dengan lebar 2,5 cm dibentuk menjadi sebuah loop (lingkaran) yang dihubungkan dengan simpul pita.
Sling terbuat dari webbing tubular. Panjang sekitar 1,5 m dengan lebar 2,5 cm dibentuk menjadi sebuah loop (lingkaran) yang dihubungkan dengan simpul pita.
PERENCANAAN PERLENGKAPAN PERJALANAN :
Keberhasilan suatu kegiatan di alam terbuka juga ditentukan oleh perencanaan dan perbekalan yang tepat. Dalam merencanakan perlengkapan perjalanan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah :
1. Mengenal jenis medan yang akan dihadapi (hutan, rawa, tebing, dll)
2. Menentukan tujuan perjalanan (penjelajahan, latihan, penelitian, SAR,
3. Mengetahui lamanya perjalanan (misalnya 3 hari, seminggu, sebulan,
4. Mengetahui keterbatasan kemampuan fisik untuk membawa beban
5. Memperhatikan hal-hal khusus (misalnya : obat-obatan tertentu)
Keberhasilan suatu kegiatan di alam terbuka juga ditentukan oleh perencanaan dan perbekalan yang tepat. Dalam merencanakan perlengkapan perjalanan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah :
1. Mengenal jenis medan yang akan dihadapi (hutan, rawa, tebing, dll)
2. Menentukan tujuan perjalanan (penjelajahan, latihan, penelitian, SAR,
3. Mengetahui lamanya perjalanan (misalnya 3 hari, seminggu, sebulan,
4. Mengetahui keterbatasan kemampuan fisik untuk membawa beban
5. Memperhatikan hal-hal khusus (misalnya : obat-obatan tertentu)
Setelah mengetahui
hal-hal tersebut, maka kita dapat menyiapkan perlengkapan dan perbekalan yang
sesuai dan selengkap mungkin, tetapi beratnya tidak melebihi sepertiga berat
badan (sekitar 15-20 kg), walaupun ada yang mempunyai kemampuan mengangkat
beban sampai 30 kg.
Dari kegiatan
penjelajahan, ada beberapa jenis perjalanan yang disesuaikan dengan medannya,
yaitu :
1. Perjalanan pendakian gunung
2. Perjalanan menempuh rimba
3. Perjalanan penyusuran sungai, pantai dan rawa
4. Perjalanan penelusuran gua
5. Perjalanan pelayaran
1. Perjalanan pendakian gunung
2. Perjalanan menempuh rimba
3. Perjalanan penyusuran sungai, pantai dan rawa
4. Perjalanan penelusuran gua
5. Perjalanan pelayaran
Untuk perjalanan
ilmiah dan kemanusiaan, bisa pula dikelompokkan berdasarkan jenis medan yang
dihadapi. Dari setiap kegiatan tersebut, kita dapat mengelompokkan
perlengkapannya sebagai berikut :
1. Perlengkapan dasar,
meliputi :
o Perlengkapan dalam perjalanan / pergerakkan
o Perlengkapan untuk istirahat
o Perlengkapan makan dan minum
o Perlengkapan mandi
o Perlengkapan pribadi
o Perlengkapan dalam perjalanan / pergerakkan
o Perlengkapan untuk istirahat
o Perlengkapan makan dan minum
o Perlengkapan mandi
o Perlengkapan pribadi
2. Perlengkapan
khusus, disesuaikan dengan perjalananan, misalnya
o Perlengkapan penelitian (kamera, buku, dll)
o Perlengkapan penyusuran sungai (perahu, dayung, pelampung, dll)
o Perlengkapan pendakian tebing batu (carabineer, tali, chock, dll)
o Perlengkapan penelusuran gua (helm, headlamp/senter, harness, sepatu karet, dll)
o Perlengkapan penelitian (kamera, buku, dll)
o Perlengkapan penyusuran sungai (perahu, dayung, pelampung, dll)
o Perlengkapan pendakian tebing batu (carabineer, tali, chock, dll)
o Perlengkapan penelusuran gua (helm, headlamp/senter, harness, sepatu karet, dll)
3. Perlengkapan
tambahan
Perlengkapan ini dapat dibawa atau tergantung evaluasi yang dilakukan (misalnya : semir, kelambu, gaiter, dll).
Perlengkapan ini dapat dibawa atau tergantung evaluasi yang dilakukan (misalnya : semir, kelambu, gaiter, dll).
Mengingat pentingnya
penyusunan perlengkapan dalam suatu perjalanan, maka sebelum memulai kegiatan,
sebaiknya dibuatkan check-list terlebih dahulu. Perlengkapan dikelompokkan
menurut jenisnya, lalu periksa lagi mana yang perlu dibawa dan tidak.
Apabila perjalanan kita lakukan dengan berkelompok, maka check-list nya untuk perlengkapan regu dan pribadi. Dalam perjalanan besar dan memerlukan waktu yang lama, kita perlu menentukan perlengkapan dan perbekalan mana saja yang dibawa dari rumah atau titik keberangktan, dan perlengkapan atau perbekalan mana saja yang bisa dibeli di lokasi terdekat dengan tujuan perjalanan kita.
Apabila perjalanan kita lakukan dengan berkelompok, maka check-list nya untuk perlengkapan regu dan pribadi. Dalam perjalanan besar dan memerlukan waktu yang lama, kita perlu menentukan perlengkapan dan perbekalan mana saja yang dibawa dari rumah atau titik keberangktan, dan perlengkapan atau perbekalan mana saja yang bisa dibeli di lokasi terdekat dengan tujuan perjalanan kita.
(Sumber : Buku Panduan
Pedoman Mendaki Gunung & Penjelajahan Rimba/EAT&E – EAST 2003
Mendaki gunung adalah suatu olah raga keras, penuh petualangan
dan membutuhkan keterampilan, kecerdasan, kekuatan serta daya juang yang
tinggi. Bahaya dan tantangan merupakan daya tarik dari kegiatan ini. Pada
hakekatnya bahaya dan tantangan tersebut adalah untuk menguji kemampuan diri
dan untuk bisa menyatu dengan alam. Keberhasilan suatu pendakian yang sukar,
berarti keunggulan terhadap rasa takut dan kemenangan terhadap perjuangan
melawan diri sendiri.
Di Indonesia, kegiatan
mendaki gunung mulai dikenal sejak tahun 1964 ketika pendaki Indonesia dan
Jepang melakukan suatu ekspedisi gabungan dan berhasil mencapai puncak Soekarno
di pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya (sekarang Papua). Mereka adalah Soedarto
dan Soegirin dari Indonesia, serta Fred Atabe dari Jepang. Pada tahun yang
sama, perkumpulan-perkumpulan pendaki gunung mulai lahir, dimulai dengan
berdirinya perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung WANADRI di Bandung dan
Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) di Jakarta, diikuti
kemudian oleh perkumpulan-perkumpulan lainnya di berbagai kota di Indonesia.
JENIS PERJALANAN /
PENDAKIAN
Mountaineering dalam
arti luas adalah suatu perjalanan, mulai dari hill walking sampai dengan ekspedisi
pendakian ke puncak-puncak yang tinggi dan sulit dengan memakan waktu yang
lama, bahkan sampai berbulan-bulan.
Menurut kegiatan dan jenis medan yang dihadapi, mountaineering terbagi menjadi tiga bagian :
Menurut kegiatan dan jenis medan yang dihadapi, mountaineering terbagi menjadi tiga bagian :
1. Hill Walking / Fell
Walking
Perjalanan mendaki bukit-bukit yang relatif landai dan yang tidak atau belum membutuhkan peralatan-peralatan khusus yang bersifat teknis.
Perjalanan mendaki bukit-bukit yang relatif landai dan yang tidak atau belum membutuhkan peralatan-peralatan khusus yang bersifat teknis.
2. Scrambling
Pendakian pada tebing-tebing batu yang tidak begitu terjal atau relatif landai, kadang-kadang menggunakan tangan untuk keseimbangan. Bagi pemula biasanya dipasang tali untuk pengaman jalur di lintasan.
Pendakian pada tebing-tebing batu yang tidak begitu terjal atau relatif landai, kadang-kadang menggunakan tangan untuk keseimbangan. Bagi pemula biasanya dipasang tali untuk pengaman jalur di lintasan.
3. Climbing
Kegiatan pendakian yang membutuhkan penguasaan teknik khusus. Peralatan teknis diperlukan sebagai pengaman. Climbing umumnya tidak memakan waktu lebih dari satu hari.
Kegiatan pendakian yang membutuhkan penguasaan teknik khusus. Peralatan teknis diperlukan sebagai pengaman. Climbing umumnya tidak memakan waktu lebih dari satu hari.
Bentuk kegiatan
climbing ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Rock Climbing
Pendakian pada tebing-tebing batu yang membutuhkan teknik pemanjatan dengan menggunakan peralatan khusus.
b. Snow & Ice climbing
Pendakian pada es dan salju.
a. Rock Climbing
Pendakian pada tebing-tebing batu yang membutuhkan teknik pemanjatan dengan menggunakan peralatan khusus.
b. Snow & Ice climbing
Pendakian pada es dan salju.
4. Mountaineering
Merupakan gabungan dari semua bentuk pendakian di atas. Waktunya bisa berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Disamping harus menguasai teknik pendakian dan pengetahuan tentang peralatan pendakian, juga harus menguasai manajemen perjalanan, pengaturan makanan, komunikasi, strategi pendakian, dll.
Merupakan gabungan dari semua bentuk pendakian di atas. Waktunya bisa berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Disamping harus menguasai teknik pendakian dan pengetahuan tentang peralatan pendakian, juga harus menguasai manajemen perjalanan, pengaturan makanan, komunikasi, strategi pendakian, dll.
KLASIFIKASI PENDAKIAN
Tingkat kesulitan yang
dimiliki setiap orang berbeda-beda, tergantung dari pengembangan teknik-teknik
terbaru. Mereka yang sering berlatih akan memiliki tingkat kesulitan / grade
yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang baru berlatih.
Klasifikasi pendakian
berdasarkan tingkat kesulitan medan yang dihadapi (berdasarkan Sierra Club) :
Kelas 1 : berjalan tegak, tidak diperlukan perlengkapan kaki khusus (walking).
Kelas 2 : medan agak sulit, sehingga perlengkapan kaki yang memadai dan penggunaan tangan sebagai pembantu keseimbangan sangat dibutuhkan (scrambling).
Kelas 3 : medan semakin sulit, sehingga dibutuhkan teknik pendakian tertentu, tetapi tali pengaman belum diperlukan (climbing).
Kelas 4 : kesulitan bertambah, dibutuhkan tali pengaman dan piton untuk anchor/penambat (exposed climbing).
Kelas 5 : rute yang dilalui sulit, namun peralatan (tali, sling, piton dll), masih berfungsi sebagai alat pengaman (difficult free climbing).
Kelas 6 : tebing tidak lagi memberikan pegangan, celah rongga atau gaya geser yang diperlukan untuk memanjat. Pendakian sepenuhnya bergantung pada peralatan (aid climbing).
Kelas 1 : berjalan tegak, tidak diperlukan perlengkapan kaki khusus (walking).
Kelas 2 : medan agak sulit, sehingga perlengkapan kaki yang memadai dan penggunaan tangan sebagai pembantu keseimbangan sangat dibutuhkan (scrambling).
Kelas 3 : medan semakin sulit, sehingga dibutuhkan teknik pendakian tertentu, tetapi tali pengaman belum diperlukan (climbing).
Kelas 4 : kesulitan bertambah, dibutuhkan tali pengaman dan piton untuk anchor/penambat (exposed climbing).
Kelas 5 : rute yang dilalui sulit, namun peralatan (tali, sling, piton dll), masih berfungsi sebagai alat pengaman (difficult free climbing).
Kelas 6 : tebing tidak lagi memberikan pegangan, celah rongga atau gaya geser yang diperlukan untuk memanjat. Pendakian sepenuhnya bergantung pada peralatan (aid climbing).
SISTEM PENDAKIAN
1. Himalayan System,
adalah sistem pendakian yang digunakan untuk perjalanan pendakian panjang,
memakan waktu berminggu-minggu. Sistem ini berkembang pada pendakian ke
puncak-puncak di pegunungan Himalaya. Kerjasama kelompok dalam sistem ini
terbagi dalam beberapa tempat peristirahatan (misalnya : base camp, flying
camp, dll). Walaupun hanya satu anggota tim yang berhasil mencapai puncak,
sedangkan anggota tim lainnya hanya sampai di tengah perjalanan, pendakian ini
bisa dikatakan berhasil.
2. Alpine System,
adalah sistem pendakian yang berkembang di pegunungan Alpen. Tujuannya agar
semua pendaki mencapai puncak bersama-sama. Sistem ini lebih cepat, karena
pendaki tidak perlu kembali ke base camp, perjalanan dilakukan secara
bersama-sama dengan cara terus naik dan membuka flying camp sampai ke puncak.
PERSIAPAN BAGI SEORANG
PENDAKI GUNUNG
Untuk menjadi seorang
pendaki gunung yang baik diperlukan beberapa persyaratan antara lain :
1. Sifat mental.
Seorang pendaki gunung harus tabah dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan di alam terbuka. Tidak mudah putus asa dan berani, dalam arti kata sanggup menghadapi tantangan dan mengatasinya secara bijaksana dan juga berani mengakui keterbatasan kemampuan yang dimiliki.
Seorang pendaki gunung harus tabah dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan di alam terbuka. Tidak mudah putus asa dan berani, dalam arti kata sanggup menghadapi tantangan dan mengatasinya secara bijaksana dan juga berani mengakui keterbatasan kemampuan yang dimiliki.
2. Pengetahuan dan
keterampilan
Meliputi pengetahuan tentang medan, cuaca, teknik-teknik pendakian pengetahuan tentang alat pendakian dan sebagainya.
Meliputi pengetahuan tentang medan, cuaca, teknik-teknik pendakian pengetahuan tentang alat pendakian dan sebagainya.
3. Kondisi fisik yang
memadai
Mendaki gunung termasuk olah raga yang berat, sehingga memerlukan kondisi fisik yang baik. Berhasil tidaknya suatu pendakian tergantung pada kekuatan fisik. Untuk itu agar kondisi fisik tetap baik dan siap, kita harus selalu berlatih.
Mendaki gunung termasuk olah raga yang berat, sehingga memerlukan kondisi fisik yang baik. Berhasil tidaknya suatu pendakian tergantung pada kekuatan fisik. Untuk itu agar kondisi fisik tetap baik dan siap, kita harus selalu berlatih.
4. Etika
Harus kita sadari sepenuhnya bahwa seorang pendaki gunung adalah bagian dari masyarakat yang memiliki kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang berlaku yang harus kita pegang dengan teguh. Mendaki gunung tanpa memikirkan keselamatan diri bukanlah sikap yang terpuji, selain itu kita juga harus menghargai sikap dan pendapat masyarakat tentang kegiatan mendaki gunung yang selama ini kita lakukan.
Harus kita sadari sepenuhnya bahwa seorang pendaki gunung adalah bagian dari masyarakat yang memiliki kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang berlaku yang harus kita pegang dengan teguh. Mendaki gunung tanpa memikirkan keselamatan diri bukanlah sikap yang terpuji, selain itu kita juga harus menghargai sikap dan pendapat masyarakat tentang kegiatan mendaki gunung yang selama ini kita lakukan.
(Sumber : Buku Panduan
Pedoman Mendaki Gunung & Penjelajahan Rimba/EAT&E – EAST 200
Hill walking atau yang lebih dikenal sebagai hiking adalah
sebuah kegiatan mendaki daerah perbukitan atau menjelajah kawasan bukit yang
biasanya tidak terlalu tinggi dengan derajat kemiringan rata-rata di bawah 45 derajat.
Dalam hiking tidak dibutuhkan alat bantu khusus, hanya mengandalkan kedua kaki
sebagai media utamanya. Tangan digunakan sesekali untuk memegang tongkat
jelajah (di kepramukaan dikenal dengan nama stock atau tongkat pandu) sebagai
alat bantu. Jadi hiking ini lebih simpel dan mudah untuk dilakukan
2..scrambling.
Dalam pelaksanaannya, scrambling merupakan kegiatan mendaki
gunung ke wilayah-wilayah dataran tinggi pegunungan (yang lebih tinggi dari
bukit) yang kemiringannya lebih ekstrim (kira-kira di atas 45 derajat). Kalau
dalam hiking kaki sebagai ‘alat’ utama maka untuk scrambling selain kaki,
tangan sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang atau membantu gerakan mendaki.
Karena derajat kemiringan dataran yang lumayan ekstrim, keseimbangan pendaki
perlu dijaga dengan gerakan tangan yang mencari pegangan. Dalam scrambling,
tali sebagai alat bantu mulai dibutuhkan untuk menjamin pergerakan naik dan
keseimbangan tubuh.
Berbeda dengan hiking
dan scrambling, level mountaineering yang paling ekstrim adalah climbing!
Climbing mutlak memerlukan alat bantu khusus seperti karabiner, tali panjat,
harness, figure of eight, sling, dan sederetan peralatan mountaineering
lainnya. Kebutuhan alat bantu itu memang sesuai dengan medan jelajah climbing
yang sangat ekstrim. Bayangkan saja, kegiatan climbing ini menggunakan wahana
tebing batu yang kemiringannya lebih dari 80 derajat! Ouhhh…
Nah, tentu saja mountaineering ini cukup menantang untuk
digeluti… selain wahana kegiatannya yang berada di daerah ketinggian pegunungan
yang diwarnai dengan tebing lembah, ngarai, ceruk, sungai, dan panorama tiada
tara, untuk melakoni mountaineering ini tentu saja dibutuhkan kesiapan fisik
yang mantap
Secara garis besarnya untuk melakoni mountaineering pastikan
tubuh kalian dalam kondisi sehat, fit, dan stamina oke. Untuk itu olahraga
teratur sangat mutlak. Selain itu, kau harus bebas dari semua phobia akan
hal-hal yang berkaitan dengan tempat-tempat tinggi dan punya kesiapan rencana
yang mantap!
Peralatan dasar kegiatan alam bebas seperti :
ransel, vedples (botol air), sepatu gunung, pakaian gunung,
tenda, misting (rantang masak outdoor), kompor lapangan, topi rimba, peta,
kompas, altimeter, pisau, korek, senter, alat tulis, dan matras mutlak
dibutuhkan selain alat bantu khusus mountaineering seperti tali
houserlite/kernmantel, karabiner, figure of eight, sling, prusik, bolt,
webbing, harness, dan alat bantu khusus lainnya yang dibutuhkan sesuai level
kegiatannya.
2. Climbing
Climbing adalah
olah raga panjat yang dilakukan di tempat yang curam atau tebing. Tebing atau jurang adalah
formasi bebatuan yang menjulang secara vertikal. Tebing terbentuk akibat dari
erosi. Tebing umumnya ditemukan di daerah pantai, pegunungan dan sepanjang
sungai. Tebing umumnya dibentuk oleh bebatuan yang yang tahan terhadap proses
erosi dan cuaca.
Di dalam arti yang sebenarnya memang climbing
itu panjat tebing. Tetapi banyak pula orang mengartikan bukan hanya panjat saja
dalam kegiatan climbing ini melainkan juga Repling (turun tebing), Pursiking (naik tebing dengan menggunakan
tali pursik) dan lain-lain.
Biasanya orang melakukan pemanjatan tebing ini dilakukan dengan
konsentrasi yang tinggi, kekuatan tangan, kekuatan kaki, keseimbangan tubuh
dijadikan tolak ukur dalam melakukan pemanjatan ini. Panjat tebing bukan hanya di
alam tetapi kita bisa di tebing buatan (woll-climbing).
Dalam divisi climbing ini sangatlah mengharapkan peran lembaga
STTA dalam melancarkan kegiatannya, yaitu adanya pembuatan woll-climbing.
Didalam pembuatan wool-climbing memang memerlukan dana yang cukup besar. Maka
dari itu Palastta mengharapkan kerjasama dari pihak manapun untuk dapat bekerja
sama dalam pembuatan wool-climbing ini.
3. Rock Climbing
Rock Climbing adalah olah raga fisik dan mental yang mana selalu
membutuhkan kekuatan, keseimbangan, kecepatan, ledakan-ledakan tenaga yang
didukung dengan kemampuan mental para pelakunya. Ini adalah kegiatan yang
sangat berbahaya dan dibutuhkan pengetahuan dan latihan. Olah raga ini juga
menggunakan alat-alat panjat yang sangat krusial dan rawan, tetapi dengan
teknik dan pengetahuan yang benar, olah raga ini sangat aman untuk dilakukan.
Ice and Snow Climbing
Ice and Snow Climbing adalah olah raga fisik dan mental yang
mana selalu membutuhkan kekuatan, keseimbangan, kecepatan, ledakan-ledakan
tenaga yang didukung dengan kemampuan mental para pelakunya. Ini adalah
kegiatan yang sangat berbahaya dan dibutuhkan pengetahuan dan latihan. Olah
raga ini juga menggunakan alat-alat panjat yang sangat krusial dan rawan,
tetapi dengan teknik dan pengetahuan yang benar, olah raga ini sangat aman
untuk dilakukan.
Seorang awam (tidak memiliki cukup penagalaman di hutan dan
gunung) mungkin segera akan menilai bahwa bahaya dihutan adalah sbb :
`Hutan dan gunung
adalah wilayah berkeliarannya binatang-binatang buas pemangsa yang setiap detik
siap memangsa manusia yang memasuki wilayahnya. Tumbuh-tumbuhan yang lebat
saling berbelit dan rimbunnya dedaunan akan menghambat sinar matahari dan
menimbulkan kegelapan yang segera akan menyesatkan arah perjalanan kita.
Legenda tentang batang kayu besar yang tumbang serta dipenuhi lumut dan ketika
seseorang menancapkan lumut atasnya segera menyemburlah darah. Dan batang kayu
itu menggeliat; ternyata batang kayu itu adalah tubuh seekor ular yang sangat
besar yang segera akan marah dan menelan manusia yang menyakitinya.
Bayang-bayangan sejenis itu adalah wajar dimiliki oleh seorang awam. Sebagian
ada benarnya tapi sebagian lagi adalah hal-hal yang sangat dilebih-lebihkan’
Tetapi bagi orang yang telah berpuluh-puluh kali mengalami
perjalanan di hutan dan gunung ternyata sebahagian besar belum pernah bertemu
dengan binatang buas seperti yang ditakautkan (walau mengkin sesungguhnya salah
seorang dari mereka pernah bertemu, tetapi binatangnya buas itu segera
menghindar karena mendengar suara manusia sehingga tak terlihat). Penagalaman2
yang lebih pasti dialaminya adalah mereka pasti selalu bertemu debgan
nyamuk-nyamuk yang berusaha menghisap darahnya. Seandainya salah seekor nyamuk
yang menggigitnya berpotensi menularkan malaria, demam berdarah ataupun
penyakit kaki gajah, tentu saja hal ini sudah merupakan potensi bahaya yang
dapat berakibat sama fatalnya dengan serangan binatang buas. Hujan, angin, dan
udara dingin adalah contoh lain dari hambatan-hambatan yang paling sering
ditemui, dimana bila menjadi extreme dapat menjadi bahaya atau potensi bahaya
yang tidak kalah fatalnya. Banyak lagi hal-hal lain yang karena mungkin belum
pernah dialami atau terlihat dapat menjadi potensi bahaya, menjadi terabaikan.
Atau mungkin juga sesuatau hal yang dilingkungan kehidupan normal dapat
dianggap hal yang biasa terjadi dikarenakan fasilitas-fasilitas pendukung yang
memadai, tidak disadri dapat merupakan bahaya atau berpotensi menjadi bahaya fatal
dalam perjalanan di hutan dan gunung : misalnya luka-luka kecil yang bisa
terkena infeksi bila tidak terawat dengan baik.
Tentu saja membahas bentuk-bentuk bahaya yang mungkin dihadapi
di hutan fdan gunung dengan cara diatas akan menjadi bertele-tele, berbelit dan
sangat tidak sistematis. Untuk itu marilah kita mencoba membahas secara lebih
sistematis bahaya-bahaya yang mungjkin kita hadapi di hutan dan gunung.
Pengelompokan Bahaya di Hutan dan Gunung
Bila kita kelompokan bahaya di hutan dan gunung dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1. Bahaya Obyektif : Segala bentuk bahaya atau potensi bahaya
yang ditimbulkan oleh objek hutan dan gunung itu sendiri dan segala sesuatu
yang berada dilingkungannya
2. Bahaya Subyektif : Segala bentuk bahaya dan atau potensi
bahaya yang diawali atau ditimbulkan oleh pelaku dalam segala bentuk perilaku,
tindakan dan pengambilan keputusan baik sebelum ataupun saat ia berkegiatan di
hutan dan gunung.
3. Nasib Buruk dan Nasib Baik : segala bentuk bahaya dan atau
potensi bahaya yang pada dasarnya diluar perhitungan ataupun pertimbangan
pelakunya, dan bersifat sama sekali tidak terduga. Umumnya sangat jarang
terjadi. Nasib Buruk akan langsung dirasakan oleh pelaku sebagai potensi bahaya
ataupun bahaya. Nasib Baik bila tidak secara bijak diterima sebagai sebentuk
pengalaman tentang keberuntungan, dapat menjadi sebentuk sikap berfikir yang
dapat menjadi potensi dan atau bahaya disaat mendatang.
Kelompok-kelompok Bahaya di Hutan dan Gunung.
1.
Bahaya Objectif
a)
Kondisi Bentuk Permukaan Bumi (Terrain); Apakah Terrain berpemukaan: datar, curam,
patahan-patahan, tonjolan-tonjolan dan gabungan dari beberapa bentuk.
Masing-massing memiliki bahaya sendiri-sendiri. Apakah kondisi permukaan itu
terbentuk oleh tanah padat, gembur, berair, becek, rawa, sungai, pasir, kerikil
bulat, krikil tajam, batuan lepas, batuan padat dan serterusnya. Masing- masing
juga memeiliki sifat-sifat tersendiri yang tentunya memeiliki potensi-potensi
bahaya.
b)
Bentuk-bentuk Kehidupan (living
Form);
•
Kehidupan Binatang: Mulai kehidupan
Micro organisme yang sederhana hingga binatang-binatang besar dapat menjadi
potensi bahaya. Secara umum potensi itu adalah :
– Dapat menimbulkan penyakit.
– Dapat menularkan penyakit.
– Beracun bila menyengat, bersentuhan atau menggigit.
– Beracun bila dimakan.
– Karena ukurannya besar dapat berbahaya bila menyerang.
– Binatang besar pemangsa.
– Minimbulkan/mengeluarkan zat-zat kimia yang membuat sangat tidak nyaman.
– Dapat menimbulkan penyakit.
– Dapat menularkan penyakit.
– Beracun bila menyengat, bersentuhan atau menggigit.
– Beracun bila dimakan.
– Karena ukurannya besar dapat berbahaya bila menyerang.
– Binatang besar pemangsa.
– Minimbulkan/mengeluarkan zat-zat kimia yang membuat sangat tidak nyaman.
•
Tumbuh-tumbuhan
Potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh tumbuhan adalah : ‘
– Kerapatan tumbuhan dapat menghambat dan mencederai kita dalam pergerakan.
– Kerapatan tumbuhan dapat menghambat jarak dan keleluasaan pandangan (visibility) sehingga menyulitkan orientasi.
Potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh tumbuhan adalah : ‘
– Kerapatan tumbuhan dapat menghambat dan mencederai kita dalam pergerakan.
– Kerapatan tumbuhan dapat menghambat jarak dan keleluasaan pandangan (visibility) sehingga menyulitkan orientasi.
– Mempunyai duri-duri atau getah beracun yang dapat mencederai
kita.
– Mengandung racun bila dimakan.
– Mengandung racun bila dimakan.
Tetapi harus dicatat, dalam situasi survival ada tidaknya
binatang dan tumbuhan yang dapat kita manfaatkan juga merupakan problem bagi
kita untuk sumber makakan, shelter, bahan bakar, perlengkapan pengganti dll.
c)
Iklim dan Cuaca
Iklim yang merupakan gambaran umum musim-musim yang terjadi
disuatu daerah tertentu dalam periode waktu satu tahun mungkin lebih mudah
doiperkirakan. Tetapi cuaca yang berkaitan dengan: temperatur, kelembaban dan
pergeerakan udara akan lebih sulit diperkirakan. Ketiga hal itu sangat
berkaitan dengan kemampuan tubuh kita yang mempunyai keterbatasan untuk dapat
berfungsi normal. Hal-hal yang dapat menjadi potensi bahaya dari kondisi cuaca
adalah :
• Temprertur Tinggi, yang berkaitan debngan terik matahari dapat
menyebabkan Heatstroke dan Sunstroke.
• Temperature rendah, basah, angin, dan kombinasinya dapat
menyebabkan Hypotermia.
• Basah terus-menerus dapat menyebabkan bagian telapak kaki mengalami Water immersion foot (seperti kena kutu air). Akan mudah lecet dan peluang terinfeksi menjadi lebih besar.
• Basah terus-menerus dapat menyebabkan bagian telapak kaki mengalami Water immersion foot (seperti kena kutu air). Akan mudah lecet dan peluang terinfeksi menjadi lebih besar.
• Potensi-potensi bahaya lain yang diakibatkan oleh cuaca misal:
angin yang sangat besar dapat mematahkan batang2 pohon besar yang bisa
mencederai kita, curah hujan yang tinggi dapat menghambat pergerakan dan jarak
pandang. Curah hujan yang sangat extreme mempunyai potensi bahaya tersendiri.
Demikian juga kekeringan yang extreme
d)
Ketinggian
Tinggi rendahnya suatu tempat dari atas permukaan laut, akan
berkaitan dengan besarnya tekanan udara di tempat itu. Disekitar ketinggian
sejajar dengan permukaan laut tekanan udara besarnya kurang lebih 1 Atmosfir
(atm), pada 500 Meter Diatas Permukaan Laut (mdpl) tekanan udaranya hanya
kurang lebih 50%nya. Besarnya tekanan disebabkan massa udara yang lebih besar.
Dengan kata lain materi yang membentuk udara lebih banyak. Makin kecil
tekanannya, makin sedikit materi yang membentuknya. Oksigen yang kita butuhkan
ada kurang lebih 20% dari materi yang membentuk udara. Dengan demikian makin
tinggi suatu tempat dari permukaan laut makin sedikit jumlah oksigen dari
setiap liter yang terhisap paru-paru kita. Tubuh kita membutuhkan waktu untuk
beraklimatisasi dengan kondisi ini. Kurangnya waktu aklimatisasi dapat
menimbulkan gangguan pada kesehatan tubuh kita, yaitu apa yang disebut Mountain
Sickness, yang bila berlanjut dari kondisi Hypoxia dapat berkembang menjadi
Pulmonaryedema dan atau Cerebraledema. Bahkan diatas ketinggian yang berkisar
mulai diatas 5000 mdpl, tubuh kita tidak mampu beraklimatisasi secara
permanaen. Hanya dalam batasan waktu tertentu tubuh kita dapat bertahan. Daerah
diatas ketinggian itu sering juga disebut “Death Zone” dimana tidak ada makhluk
hidup yang dapat beraklimatisasi permanent disana. (Can u follow it…?)
e)
Besaran Jarak dan Waktu
Besarnya jarak biasanya berkaitan dengan lamanya waktu tempuh,
walau tingkat kesulitan medan (berkaitan dengankondisi Terrain, Living Form,
Iklim dan cuaca, ketinggian) ikut berpengaruh. Secara sederhana dapat dilihat
bahwa makin besar jarak dan waktu makin rumit rencana perjalan yang harus kita
buat. Banyak masalah- masalah yang harus kita pertimbangkan seperti misalnya :
masalah perbekalan, navigasi, kesehatan, shelter, peralatan, tekanan-
tekanan/stress (fisik dan psikis) yang mungkin dialami dst. Makin rumit rencana
perjalanan yang harus kita pertimbangkan, ada kemungkinan makin besar
faktor-faktor kesalahan yang terjadi. Faktor- faktor kesalahan yang ini dapat
berkembang pada pelaksanaanya menjadi potensi bahaya.
f) Kondisi Akibat/Pengaruh
Yang dimaksud dengan kondisi akibat atau pengaruh adalah suatu
kondisi yang pada umumnya/biasanya tidak merupakan potensi bahaya, tetapi
akibat pengaruh tertentu menjadikannya sebagai potensi atau bahaya. Beberapa
contoh misalnya :
– Adanya bangkai binatang besar diatas aliran sungai yang sangat
jernih dihutan atau digunung yang kita gunakan sebagai sumber air.
– Adanya ganggang beracun pada genangan air tetrentu yang kita anggap sebagai sumber air yang baik.
– Adanya ganggang beracun pada genangan air tetrentu yang kita anggap sebagai sumber air yang baik.
– Munculnya gas beracun di wilayah gunung berapi dimana biasanya
wilayah tersebut aman. Hal ini mungkin akibat aktivitas gunung berapi
beraktivitas diluar normalnya.
– Jenis-jenis ikan tertentu yang biasanya tidak beracun menjadi
ikan beracun bila dikonsumsi akibat adanya kandungan mineral tertentu atau
micro organisme tertentu diperairan habitatnya.
– Dan contoh lainnya.
g) Kondisi Sosial Budaya
“Lain padang lain belalangnya, lain lubuk lain pula ikannya”,
demikian kata peribahasa. Setiap daerah memang memiliki adat-istiadat
tersendiri. Kesalahan kita dalam menghargai adat istiadat setempat dapat
menimbulkan kesalahpahaman. Rasa tidak suka, penolakan terhadap kehadiran kita
akan menimbulkan ketidaknyamanan dan atau rasa tidak aman pada diri kita. Hal
ini bila berlanjut dapat menjadi potensi bahaya yang tidak jarang pula menjadi
bahaya. Tidak jarang pula masyarakat pedalaman yang akan merasa tidak aman bila
wilayahnya dimasuki orang asing. Bagi kita sikap mereka sering kita anggap
agresif, yang sesungguhnya itu adalah manifestasi dari rasa tidak aman itu. Pendekatan
yang cermat perlu kita lakukan agar situasi itu tidak menjadi potensi bahaya.
2. Bahaya Subjektif
a. Kondisi Kebugaran (fitness)
Subject : Berkegiatan di alam terbuka dalam tingkatan tertentu
menuntut kebugaran tubuh pelakunya. Tidak saja sitem peredaran darahnya
(cardios culary), metabolisme tubuh, kekuatan otot-ototnya, tetapi juga daya
pertahanan tubuhnya terhadap perubahan-perubahan cuaca (berkaitan dengan
temperatur, kebasahan angin). Sering juga berkegiatan di gunung dan hutan
mengharuskan kita melakukan irama dan siklus kehidupan yang tidak teratur. Atau
setidaknya tidak sebagaimana pada kehidupan kita sehari-hari. Situasi dan
kondisi ini dapat menjadi potensi bahaya apabila kebugaran tubuh pelaku tidak
dapat memenuhi sebagaimana yang dituntut kegiatan itu.
b. Kondisi Kemampuan Tekhnis (Technical Skills)
Subyek : Sebentuk pengetahuan dan keterampilan tekhnis tentu
saja dituntut dalam berkegiatan di gunung dan hutan. Keterampilan untuk dapat
bergerak dengan efisien serta efektif, mengontrol keseimbangan dan irama gerak
tubuh serta beristirahat secara efektif tapi efisien. Hal ini juga harus
ditunjang dengan pengetahuah apa saja, peralatan pembantu yang dibutuhkan
secara tepat, serta penggunaanya secara benar untuk membantunya bergerak atau beristirahat.
Pengetahuan dan keterampilan menjaga kesehatan, kebugaran tubuh dan bagaimana
mengatasi bila tergangu juga dituntut. Tidak mendukungnya kemampuan tekhnis
pelaku, akan menjadi sebentuk potensi bahaya.
c. Kondisi Kemampuan Kemanusiaan (Human Skills)
Sebentuk kondisi kemampuan kemanusiaan juga dituntut dalam berkegiatan di alam bebas. Apa yang sering kita dengar sebagai mental yang kuat dan emosi yang stabil itu yang dituntut. Tetapi uraian dari mental yang kuat itu sendiri jarang kita dengar. Pengertian mental itu sendiri adalah bagaimana “sikap berfikir kita dalam mengontrol aksi gerak tubuh/tindakan kita”. Dengan kata lain bagaimana kita terhadap sebentuk situasi dan kondisi: Menilai, Menganalisa, Merasionalisasikannya, Mengambil/Menentukan keputusan, serta Melaksanakan keputusan itu. Hal-hal diatas terntu saja menuntut sebentuk perilaku positif manusia. Seperti : Leadership, Judgement, Determination, Integrity, Patience/Kecermatan, dan seterusnya untuk dapat melaksanakannya dengan baik. Emosi adalah sebentuk reaksi perasaan yang timbul bila menghadapi situasi dan kondisi tertentu. Dapat dianggap sebagai suatu kewajaran, tetapi tidak jarang sesungguhnya tidak bersifat rasional. Rasa Takut, Kesal, Kesepian, Patah Semangat, Frustasi, adalah contoh-contoh yang dapat berkembang menjadi potensi bahaya.
Sebentuk kondisi kemampuan kemanusiaan juga dituntut dalam berkegiatan di alam bebas. Apa yang sering kita dengar sebagai mental yang kuat dan emosi yang stabil itu yang dituntut. Tetapi uraian dari mental yang kuat itu sendiri jarang kita dengar. Pengertian mental itu sendiri adalah bagaimana “sikap berfikir kita dalam mengontrol aksi gerak tubuh/tindakan kita”. Dengan kata lain bagaimana kita terhadap sebentuk situasi dan kondisi: Menilai, Menganalisa, Merasionalisasikannya, Mengambil/Menentukan keputusan, serta Melaksanakan keputusan itu. Hal-hal diatas terntu saja menuntut sebentuk perilaku positif manusia. Seperti : Leadership, Judgement, Determination, Integrity, Patience/Kecermatan, dan seterusnya untuk dapat melaksanakannya dengan baik. Emosi adalah sebentuk reaksi perasaan yang timbul bila menghadapi situasi dan kondisi tertentu. Dapat dianggap sebagai suatu kewajaran, tetapi tidak jarang sesungguhnya tidak bersifat rasional. Rasa Takut, Kesal, Kesepian, Patah Semangat, Frustasi, adalah contoh-contoh yang dapat berkembang menjadi potensi bahaya.
d. Kondisi Kemampuan Pemahaman Lingkungan (Enviromental Skills)
Pamahaman akan segala bentuk sifat dan karakter dari lingkungan gunung dan hutan dituntut bagi pelaku yang berkegiatan disana. Segala sifat dan karakter lingkungan yang dapat menjadi potensi bahaya harus bisa dinilainya; tetapi sifat dan karakter yanhg dapat dimanfaatkan harus pula dapat dipahaminya. Sifat dan karakter lingkungan itu bukan dianggap sebagai musuh, tetapi bagaimana ia harus mampu bernegosiasi dengan segala kemampuan yang dimilinya. Ketidakmampuan memahami segala karakter dan sifat lingkungan dimana ia berkegiatan akan dapat menimbulkan potensi bahaya.
Pamahaman akan segala bentuk sifat dan karakter dari lingkungan gunung dan hutan dituntut bagi pelaku yang berkegiatan disana. Segala sifat dan karakter lingkungan yang dapat menjadi potensi bahaya harus bisa dinilainya; tetapi sifat dan karakter yanhg dapat dimanfaatkan harus pula dapat dipahaminya. Sifat dan karakter lingkungan itu bukan dianggap sebagai musuh, tetapi bagaimana ia harus mampu bernegosiasi dengan segala kemampuan yang dimilinya. Ketidakmampuan memahami segala karakter dan sifat lingkungan dimana ia berkegiatan akan dapat menimbulkan potensi bahaya.
3. Nasib Buruk dan Baik
Hal utama dari sikap pendekatan kita terhadap nasib baik dan
buruk mungkin yang terbaik adalah sebagai berikut: Adanya nasib buruk adalah
sesuatu yang tak dapat dihindari. Apabila terjadi pada kita, terimalah sebagai
suatu realita bukan dengan reaksi emosi yang negatif seperti : Kesal,
Menyesali, Marah dst. Hal terpenting yang harus kita lakukan adalah bagaimana
kita dapat mengatasinya dengan bijak dan tepat. Mendapatkan nasib baik harus
kita sadari hanya benar-benar sebuah keberuntungan. Hal ini jangan kita jadikan
sandaran untuk tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan selanjutnya. Tidak rela
menerima adanya nasib buruk dan tidak menyadari itu hanyalah sebuah
keberuntungan, akan menjadi suatu potensi bahaya bagi kita.

Komentar
Posting Komentar